Beranda | Artikel
Syirkah Dan Hukum-hukumnya (kerjasama Permodalan)
Selasa, 1 April 2014

Syirkah dalam fiqih Islam ada beberapa macam: di antaranya yang kembali kepada perjanjiannya, dan ada juga yang kembali kepada kepemilikan. Dari sisi hukumnya menurut syariat, ada yang disepakati boleh, ada juga yang masih diperselisihkan hukumnya. Di sini kita akan mengulas apa yang penulis perkirakan amat dibutuhkan oleh seorang usahawan muslim untuk diketahui hukum-hukumnya:

Definisi Syirkah

Syirkah dalam bahasa Arabnya berarti pencampuran atau interaksi. Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada.

Sementara dalam terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud (Syirkah Transaksional).

Disyariatkannya Syirkah

Syirkah disyariatkan berdasarkan ijma”/konsensus kaum muslimin. Sandaran ijma” tersebut adalah beberapa dalil tegas berikut:

Firman Allah: “…tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…” (An-Nisa: 12)

Saudara-saudara seibu itu bersekutu atau beraliansi dalam memiliki sepertiga warisan sebelum dibagi-bagikan kepada yang lain.

Firman Allah: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah.” (Al-Anfal: 41)

Harta rampasan perang adalah milik Rasulullah dan kaum muslimin secara kolektif sebelum dibagi-bagikan. Mereka semua-nya beraliansi dalam kepemilikan harta tersebut.

Riwayat yang shahih bahwa al-Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam keduanya bersyarikat dalam perniagaan. Mereka membeli barang-barang secara kontan dan nasi’ah. Berita itu sampai kepada Rasulullah a. Maka beliau memerintahkan agar menerima barang-barang yang mereka beli dengan kontan dan menolak barang-barang yang mereka beli dengan nasi’ah.

Macam-macam Syirkah

Syirkah itu ada dua macam:

Pertama: Syirkah Hak Milik (Syirkatul Amlak).

Yaitu per-sekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan.

Kedua: Syirkah Transaksional (Syirkatul Uqud).

Yakni akad kerjasama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan.

Macam-macam Syirkah Transaksional

Syirkah transaksional menurut mayoritas ulama terbagi menjadi beberapa bagian berikut:

1. Syirkatul “Inan.

Yakni persekutuan dalam modal, usaha dan keuntungan. Yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal yang mereka miliki bersama untuk membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama. Jadi modal berasal dari mereka semua, usaha juga dilakukan mereka bersama, untuk kemudian keuntungan juga dibagi pula bersama. Syirkah semacam ini berdasarkan ijma” dibolehkan, namun secara rincinya masih ada yang diperselisihkan.

2. Syirkatul Abdan (syirkah usaha).

Yakni kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh mereka, seperti kerjasama sesama dokter di klinik, atau sesama tukang jahit atau tukang cukur dalam salah satu pekerjaan. Semuanya dibolehkan. Namun Imam Syafi”ie melarangnya. Dise-but juga dengan Syirkah Shanai wat Taqabbul.

3. Syirkatul Wujuh.

Yakni kerjasama dua pihak atau lebih dalam keuntungan dari apa yang mereka beli dengan nama baik mereka. Tak seorangpun yang memiliki modal. Namun masing-masing memilik nama baik di tengah masyarakat. Mereka membe-li sesuatu (untuk dijual kembali) secara hutang, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama. Syirkah semacam ini juga diboleh-kan menurut kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah dan Syafi”iyah.

4. Syirkatul Mufawadhah.

Yakni setiap kerjasama di mana masing-masing pihak yang beraliansi memiliki modal, usaha dan hutang piutang yang sama, dari mulai berjalannya kerja sama hing-ga akhir. Yakni kerja sama yang mengandung unsur penjaminan dan hak-hak yang sama dalam modal, usaha dan hutang. Kerja sama ini juga dibolehkan menurut mayoritas ulama, namun dilarang oleh Syafi”i. Kemungkinan yang ditolak oleh Imam Syafi”i adalah bentuk aplikasi lain dari Syirkatul Mufawadhah, yakni ketika dua orang melakukan perjanjian untuk bersekutu dalam memiliki segala keuntungan dan kerugian, baik karena harta atau karena sebab lainnya.

Beberapa Hukum Syirkatul ‘Inan

Telah dijelaskan sebelumnya dalam definisi syirkah ini, bah-wa artinya yaitu kerja sama dua pihak atau lebih dengan modal mereka bersama, untuk berusaha bersama dan membagi keun-tungan bersama. Jadi merupakan persukutan dalam modal, usaha dan keuntungan.

Hukum Syirkatul “Inan

Syirkah semacam ini dibolehkan berdasarkan ijma”. Kalau-pun ada perbedaan, hanya dalam beberapa bentuk rincian dan satuannya. Yang telah kami paparkan tentang disyariatkannya bentuk syirkah secara umum merupakan dalil disyariatknya Syir-katul “Inan ini secara khusus, karena ia termasuk dari jenis kerja sama yang disyariatkan.

Rukun-rukun Syirkatul ‘Inan

Rukun-rukun Syirkatul ‘Inan ada tiga:

Rukun pertama: Dua transaktor. Keduanya harus memiliki kompetensi, yakni akil baligh dan mampu membuat pilihan. Boleh saja beraliansi dengan non muslim dengan catatan pihak non muslim itu tidak boleh mengurus modal sendirian, karena dikhawatirkan akan memasuki lubang-lubang bisnis yang diha-ramkan. Kalau segala aktivitas non muslim itu selalu dipantau oleh pihak muslim, tidak menjadi masalah. Dan persoalannya akan lebih bebas dan terbuka bila beraliansi dengan sesama muslim.

Yang patut diingatkan pada kesempatan ini adalah bahwa beraliansi dalam bisnis dan berinteraksi seringkali melahirkan ke-akraban dan cinta kasih yang terkadang menyebabkan -dalam aliansi muslim dengan kafir- lemahnya pemahaman al-Wala (loyalitas) dan al-Bara” (antipati). Hal itu merupakan salah satu lubang bencana.

Maka seorang muslim terus meninggikan nilai keyakinan-nya dan bekerja agar andilnya dalam kerja sama itu menjadi pintu dakwah mengajak ke jalan Allah, dengan kenyataan dirinya seba-gai muslim yang jujur dan amanah dalam pandangan pihak kafir, demikian juga dengan sikapnya yang selalu menepati janji dan komitmen bersama.

Rukun kedua: Objek Transaksi. Objek transaksi ini meliputi modal, usaha dan keuntungan.

Pertama: Modal.

Disyaratkan dalam modal tersebut beberapa hal berikut:

* Harus diketahui. Kalau tidak diketahui jumlahnya, hanya spekulatif, tidaklah sah. Karena modal itu akan menjadi rujukan ketika aliansi dibubarkan. Dan hal tidak mungkin dilakukan tanpa mengetahui jumlah modal.

* Hendaknya modal itu riil. Yakni ada pada saat transaksi pembelian. Karena dengan itulah aliansi ini bisa terlaksana, sehingga eksistensinya dibutuhkan. Kalau saat transaksi tidak ada, maka transaksi dianggap batal.

* Tidak merupakan hutang pada orang yang kesulitan, demi menghindari terjadinya riba. Karena dalam hal ini orang yang berhutang bisa tertuduh menangguhkan pembayaran hutangnya agar bertambah nilainya. Atau orang yang memberi hutang tertu-duh telah mengorbankan diri menuntut orang yang berhutang untuk menambah jumlah hutangnya karena telah dikembangkan.

Pencampuran modal dan kesamaan jumlahnya bukan merupakan syarat sahnya bentuk syirkahini. Akan tetapi garansi terhadap modal yang hangus hanya bisa dilakukan dalam aliansi ini dengan adanya pencampuran harta secara hakiki atau secara justifikatif. Caranya, masing-masing melepaskan modal dari pe-ngelola dan tanggungjawabnya secara pribadi untuk dimasukkan dalam pengelolaan dan tanggung jawab bersama.

Dan tidak disyaratkan bahwa kedua harta tersebut harus sama jenisnya, sebagaimana yang menjadi pendapat madzhab Hanafiyah dan Hambaliyah. Misalnya salah satu pihak meng-operasikan modalnya dalam bentuk dolar dan pihak lain dalam bentuk Rupiah. Ketika hendak dipisahkan, kedua modal itu dihi-tung dengan dua cara berbeda:

1. Kalau dalam mengelola bisnis mereka menggunakan kedua jenis mata uang tersebut secara bersamaan, masing-masing membawa pulang uangnya baru kemudian keuntungan yang ada dibagi dua.

2. Kalau mereka hanya menggunakan satu jenis mata uang dalam beroperasi, sementara masing-masing modal sudah ditukar dengan mata uang tersebut, maka dengan dasar itu juga modal mereka telah dipisahkan dan penilaiannya didasari oleh mata uang tersebut menurut nilai tukarnya pada hari transaksi.

Kedua: Usaha.

Adapun berhubungan dengan usaha, masing-masing pihak bebas mengoperasikan modalnya sebagaimana layaknya para pedagang dan menurut kebiasaan yang berlaku di antara mereka. Kalau orang yang mengelola modal orang saja bebas mengope-rasikan hartanya, apalagi bisnis patner dalam syirkah ini. Karena mengelola modal orang lain hanya merupakan syirkahpraktis, bukan syirkah substansial. Sementara dalam kasus ini yang terjadi adalah syirkah praktis dan sekaligus substansial secara bersamaan.

Masing-masing pihak yang beraliansi bisa menyerahkan usaha itu kepada yang lain, namun itu dijadikan syarat pada awal transaksi menurut pendapat ulama yang paling benar. Karena hak untuk mengoperasikan harta dimiliki oleh mereka berdua. Namun masing-masing pihak juga bisa mengundurkan diri dari haknya tersebut untuk diberikan kepada pihak lain, lalu menyerahkan operasionalnya kepada orang tersebut, sesuai dengan kepentingan yang ada.

Ketiga: Keuntungan.

Sehubungan dengan keuntungan itu disyaratkan sebagai berikut:

* Harus diketahui jumlahnya. Kalau jumlahnya tidak dike-tahui, syirkah tersebut dianggap rusak, kecuali kalau terdapat kebiasaan setempat yang sudah merata yang membolehkan pem-bagian keuntungan dengan cara tertentu, hal itu boleh dilakukan.

* Harus merupakan sejumlah keuntungan dengan prosen-tasi tertentu. Kalau berupa nilai uang tertentu saja, maka syirkah itu tidak sah. Karena ada kemungkinan bahwa aliansi tersebut hanya menghasilkan keuntungan kadar itu saja, sehingga tidak bisa dibuktikan syirkah dalam keuntungannya.

Boleh saja terdapat perbedaan keuntungan antara sesama mitra usaha. Tidak disyaratkan bahwa keuntungan harus sesuai dengan jumlah modal. Karena keuntungan selain juga ditentukan oleh modal, juga ditentukan oleh usaha. Terkadang salah seorang di antara mereka memiliki keahlian yang lebih dari yang lain, se-hingga tidak rela bila disamaratakan keuntungan mereka. Itu adalah pen-dapat yang dipilih oleh Hanafiyah dan Hambaliyah.

Rukun ketiga: Pelafalan akad/perjanjian. Perjanjian dapat terlaksana dengan adanya indikasi ke arah itu menurut kebiasaan, melalui ucapan dan tindakan, berdasarkan kaidah yang ada bahwa yang dijadikan ukuran adalah pengertian dan hakikat sebenarnya, bukan sekedar ucapan dan bentuk lahiriyahnya saja.

Berakhirnya Syirkah ini

Asal daripada syirkah ini adalah bentuk kerja sama usaha yang dibolehkan (bukan lazim). Masing-masing daripada pihak yang bersekutu boleh membatalkan perjanjian kapan saja dia kehendaki. Namun kalangan Malikiyah berbeda pendapat dalam hal itu. Mereka menyatakan bahwa kerja sama itu terlaksana dengan semata-mata adanya perjanjian. Kalau salah seorang ingin memberhentikan kerja sama tersebut, tidak begitu saja dapat dipenuhi. Dan bila ia ingin mengambil kembali hartanya maka hal itu harus diputuskan oleh hakim. Kalau hakim melihat sudah selayaknya dijual sahamnya, segera dijual. Bila tidak, maka ditunggu saat yang tepat untuk menjualnya.

Pendapat yang benar menurut kami adalah syirkah itu terlaksana dengan berjalannya usaha, dan itu terus berlangsung hingga modalnya selesai diputar. Yakni setelah modal tersebut diputar dan kembali menjadi uang kontan. Agar dapat mencegah bahaya terhadap pihak lain atas terjadinya keputusan mendadak setelah usaha baru dimulai.

Dan satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa dasar dari syirkah ini menurut para ulama fiqih adalah penjaminan dan amanah. Masing-masing dari pihak yang beraliansi menjadi pen-jamin atau wakil, sekaligus yang mewakilkan kepada yang lain. Ia dapat beroperasi dalam apa yang menjadi haknya menurut hukum asal, dan juga dalam apa yang menjadi hak pihak lain dengan status sebagai wakil. Sementara sudah dimaklumi bahwa wikalah atau penjaminan adalah perjanjian yang juga dibolehkan ber-dasarkan kesepakatan ulama. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh memaksa pihak lain untuk menuruti apa yang menjadi kei-nginannya di bawah intimidasi. Demikian juga hukum asal dari sistem syirkah ini, karena syirkah ini juga harus menggunakan penjaminan agar bisa berjalan, dan juga membutuhkan spon-sorship agar bisa bertahan. Wikalah atau penjaminan menjadi syarat dalam sistem perniagaan ini, untuk memulainya dan agar tetap bertahan. Kalau penjaminan itu terputus dengan pemba-talan dari salah satu pihak, maka hak-hak kepemilikan bagi masing-masing pihak untuk mengoperasikan modal pihak lain juga hilang.

Inilah hukum asalnya. Dan itulah yang menjadi konsekuensi dari berbagai kaidah umum yang kalangan Malikiyah sendiri juga tidak membantahnya, sehingga pendapat mereka yang menya-takan bahwa syirkah itu berlangsung hanya dengan sekedar adanya transaksi saja menjadi perlu dicermati dan dipertanyakan.

Hanya saja terkadang kita mendapatkan di hadapan kita berbagai pelajaran praktis yang mendorong kita untuk kembali meneliti persoalan ini, dan memberikan pertimbangan dan sudut pandang terhadap pendapat Malikiyah. Dimisalkan syirkah itu telah dimulai. Masing-masing anggotanya telah mulai mempersiap-kan dan mengatur segala sesuatunya. Modal telah mulai dilun-curkan untuk membeli berbagai bahan dan kebutuhan dagang. Dan pada umumnya, untuk memulai usaha itu membutuhkan kerja keras, banyak tanggungan dan biaya yang besar sekali. Tiba-tiba salah seorang pihak yang bekerja sama secara mengejutkan menganggap bahwa pasangannya itu dengan menghanguskan modal dalam sekejap dan menuntut untuk berhenti dalam usaha tersebut dan meminta ganti rugi serta menerima kembali mo-dalnya dan mengundurkan diri dari syirkah. Dan perbuatannya itu bagi pasangannya bisnisnya adalah tindakan yang melumpuhkan bahkan menghancurkannya.

Bagaimana sikap fiqih Islam terhadap kondisi semacam ini? Di sini fiqih Malikiyah menunjukkan satu sinyal terang yang dapat menerangi jalan, namun tetap korektif dan lentur.

Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa kerja sama itu harus berlangsung dengan sekedar adanya perjanjian. Ganti rugi modal itu persoalannya dikembalikan kepada hakim, dikiyaskan dengan hutang. Namun mereka tidak menyatakan bahwa hutang bisa berlaku hanya dengan adanya perjanjian, namun dengan mulainya usaha yang merupakan sebab yang diperkirakan akan berbahaya bagi perjanjian. Hal itu seharusnya diberlakukan juga pada syirkah. Wallahu a”lam.

Syirkah berakhir dengan kematian salah satu pihak yang beraliansi, atau karena gila, karena idiot dan sejenisnya.

Apakah Syirkah itu Batal dengan Habisnya Modal Salah Satu Pihak?

Apabila modal salah satu pihak yang beraliansi dagang habis sebelum dicampurkan, secara hukum atau nyata, syirkah dengan sendirinya batal. Namun kalau modal itu habis setelah itu, itu sebagai akibat yang harus diterima oleh syirkah, sehingga tidak langsung terhenti karena sebab itu. Syirkah mereka tetap berjalan sebagaimana adanya.

Bagaimana Cara Memfungsikan Syirkah Agar Dapat Meng-gantikan Posisi Pengembangan Modal Berbasis Riba?

Dunia syirkah adalah dunia yang luas merambati seluruh penjuru ufuk, seluruh penjuru dunia. Bentuk dan formatnya bisa bermacam-macam. Sektor dan pola yang tersentuh bentuk usaha ini juga bercorak-ragam. Kalau metode pengelolaan dana ini dilirik oleh pengelola dana muslim, berarti ia telah menggerakkan diri-nya menuju lembah yang subur, sumber air yang kaya yang tidak habis airnya, tidak pernah berhenti memberikan karunianya. Ia bisa menciduk keuntungan darinya sesuka hati dalam naungan metodologi rabbani, dalam bingkai ajaran syariat dan memulainya dari niat yang suci, untuk meraih tujuan dan target yang mulia.

Kita akan mengulas berbagai format kerja sama ini sebagai contoh saja, bukan secara menyeluruh. Dan kesempatan masih terbuka bagi yang ingin menciptakan format-format lain, selama berada dalam rambu-rambu ajaran syariat dan kaidah-kaidahnya yang menyeluruh.

Syirkah Simultan

Yakni dengan melayangkan modal para pengelola modal muslim ke dalam sebuah musyarakah yang simultan pada ber-bagai proyek yang sudah berdiri atau proyek-proyek yang sedang dalam perencanaan. Kerja sama mereka tersebut terlaksana de-ngan bersama-sama menanggung untung ruginya acara sama.

Musyarakah dengan Kriteria Khusus

Yakni dengan mengarahkan para investor untuk bekerja sama dalam mendanai satu proyek tertentu, seperti mengimpor sejumlah komoditi tertentu, atau untuk menyelesaikan proyek pemborongan, kemudian hasilnya dibagi-bagikan, untung atau pun rugi.

Musyarakah Non Permanen

Yakni semacam syirkah di mana salah seorang yang terlibat di dalamnya memberikan hak kepada pihak lain untuk menem-pati posisinya dalam kepemilikan secara langsung atau secara bertahap sesuai dengan persyarakatan yang disepekati dan sesuai dengan karakter usahanya. Yakni dengan cara penyusunan kon-sep yang menyisihkan sebagian devisa yang dihasilkan menjadi semacam cicilan untuk menutupi nilai konstribusi pihak yang menyerahkan haknya.

Bentuk syirkah semacam ini diminati oleh kalangan penge-lola yang tidak menginginkan berkesinambungannya peran serta pemberi modal terhadap mereka. Mereka berharap bahwa pada akhirnya kepemilikan proyek-proyek itu pada akhirnya kembali kepada mereka yang biasanya proyek-proyek itu memang tidak memiliki potensi untuk dicampurtangani, seperti mobil, atau sebagian sub produksi dalam berbagai pabrik, perum dan lain sebagainya.

Sebagian perusahan misalnya, ingin menambahkan pada salah satu usahanya sebuah produksi lengkap satu komoditi ko-mersial tertentu. Maka seorang investor bisa saja mengadakan negoisasi untuk bekerjasama dalam mendanai sub produksi ba-rang tersebut, mengatur produksi dan berbagai biaya khusus pada sub produksi barang tersebut secara terpisah. Kemudian baru mengadakan negoisasi pembagian keuntungan, dengan menyisih-kan sebagian pemasukan sebagai cadangan menutupi biaya proyek tersebut. Dengan demikian, syirkah itu dapat memiliki sub produksi tersebut pada akhirnya.

Dalam sebuah Muktamar Ekonomi Islam di Dubai tahun 1399 H./ 1976 M., para peserta muktamar membahas bentuk jual beli semacam ini. Akhirnya mereka memutuskan bahwa bentuk perjanjian usaha yang berakhir dengan penetapan kepemilikan ini terbentuk menjadi salah satu dari gambaran berikut:

Gambaran pertama:

Pihak investor dengan pengelola bersepakat untuk menetapkan jumlah jatah masing-masing ber-kaitan dengan saham dan syarat-syaratnya. Lalu saham-saham investor dijual kepada pengelola setelah syirkah berakhir dengan perjanijian baru, dimana si investor berhak menjual sahamnya kepada si pengelola sebagai patner usahanya, atau kepada orang lain. Demikian juga yang berlaku bagi seorang penanam saham terhadap bank yang mengelola modalnya. Ia berhak menjual sa-hamnya itu kepada bank sebagai patner usahanya atau kepada pihak lain.

Gambaran kedua:

Hendaknya investor dengan pengelo-lanya bersepakat dalam syirkah itu untuk pendanaan penuh atau sebagian sebagai biaya pelaksanaan proyek yang memiliki pros-pek keuntungan. Yakni berdasarkan kesepakatan bank dengan penanam saham lain, di mana pihak bank memperoleh prosentase keuntungan bersih yang berbukti secara riil, di samping haknya untuk tetap menyimpan sisa dana dari yang telah dikeluarkan, yakni jumlah khusus yang telah disepakati untuk disisihkan (dana tertahan) untuk menutupi kekurangan pendanaan bank yang dilakukan oleh pihak bank.

Gambaran ketiga:

Ditentukan bagian bagi pihak investor dan pengelola serta penanam saham lain dalam satu cara pem-bagian saham yang dapat menggambarkan total harga barang penjualan sebagai objek syirkah Masing-masing pihak mendapat-kan jatah keuntungan dari keuntungan yang pasti. Pihak penanam modal bisa membeli sejumlah saham yang masih dikuasai bank tersebut setiap tahunnya, sehingga saham-saham yang masih di tangan bank itu berkurang sedikit demi sedikit, dan pada akhir-nya pihak penanam modal itu dapat memiliki seluruh saham yang ada dan menjadi pemilik tunggal dari syirkah tersebut.

Gambaran pertama jelas dibolehkan berdasarkan kesepa-katan para ulama. Karena perjanjian usaha ini mengandung dua akar yang terpisah yang masing-masing secara terpisah hukum-nya dibolehkan. Sedangkan keduanya adalah perjanjian syirkah dan perjanjian jual beli, sehingga tidak diharamkan dan tidak ada hal yang diragukan. Demikian juga dengan gambaran ketiga yang tidak berbeda dengan gambaran pertama, hanya penjualannya saja yang dilakukan secara bertahap, sementara dalam gambaran pertama dilakukan secara langsung satu kali saja. Namun kedua-nya tidak diragukan kehalalannya, selama penjualan itu dila-kukan setelah selesainya syirkah dengan perjanjian terpisah.

Adapun gambaran kedua, masih diselimuti beberapa keran-cuan. Karena pihak bank telah bekerja sama semenjak pertama dengan persyaratan modal itu akan kembali kepadanya dengan prosentase tertentu dari keuntungan proyek.

Yang menyebabkan terjadinya kerancuan tergabungnya dua halsyirkah dan jual beli dalam satu perjanjian. Kita tidak menga-takan secara pasti bahwa itu termasuk riba. Karena kalau modal itu hangus, berarti menjadi kerugian bersama, bukan menjadi tanggung jawab pengelola saja. Inilah yang membedakan secara signifikan antara perjanjian usaha ini dengan peminjaman yang menjadi tanggung jawab peminjam saja. Demikian pula halnya ketika terjadi kerugian, kerugian itu ditanggung secara bersama.

Di antara hal yang membedakan perjanjian usaha dengan riba secara signifkan pula adalah bahwa permintaan investor untuk meminta kembali modal yang telah diberikannya, tergantung pada keberhasilan proyek dan keuntungan yang didapatkan. Kalau ke-untungan itu tidak terbukti, si investor tidak bisa mengambil ke-untungan sedikitpun. Hal itu tidak berpengaruh pada perjanjian usaha syirkah yang dilaksanakan di antara kedua belah pihak. Jatah bank tetap ada dalam bentuk saham. Dan pemasukannya juga tetap dalam bentuk jumlah tertentu dari keuntungan.

Hanya saja kerancuan tersebut tetap terlihat kental melalui pencampuradukkan antara dua perjanjian tersebut, demikian juga keikutsertaan bank dari semenjak awal dengan persyaratan akan mengambil kembali modalnya secara utuh ditambah prosentase keuntungan. Oleh sebab itu demi menjaga kehormatan dasar dan menghindari syubhat agar kedua bentuk usaha itu dipisahkan saja, yakni bahwa persoalan jual beli itu diserahkan kepada hak pilih kedua belah pihak.

Hukum-hukum Syirkatul Abdan (Usaha)

Yakni kerjasama dua pihak atau lebih dalam hasil kerja tangan mereka.

Seperti kesepakatan para pemilik usaha dan kerajinan untuk menerima pekerjaan dan berserikat dalam hasilnya. Di antara contohnya misalnya kesepakatan beberapa orang tenaga medis untuk mendirikan poliklinik dan menerima perawatan orang-orang sakit. Masing-masing bekerja sesuai dengan spesialisasinya. Kemudian akhirnya mereka membagi keuntungan bersama. Atau kesepakatan sekelompok mekanik untuk mengerjakan satu pro-yek perbaikan mobil, masing-masing bekerja sesuai dengan ketrampilannya, baru kemudian mereka membagi keuntungan bersama.

Syirkah ini dinamakan juga syirkah shana’i, syirkah taqabbul dan syirkah ‘amal.

Disyariatkannya Syirkatul Abdan

Para Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang disyariatkannya syirkah semacam ini: “Mayoritas ulama membolehkannya, yakni dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah, Se-dangkan Imam Syafi’i melarangnya.

Alasan pendapat mayoritas ulama adalah sebagai berikut: Riwayat Abu Ubaidah Ibnu Abdillah, dari ayahnya Abdullah bin Mas”ud diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Saya dan Sa’ad serta Ammar melakukan kerja sama pada hari Badar. Namun saya dan Ammar tidak memperoleh apa-apa, sementara Sa’ad mem-peroleh dua orang tawanan.”

Nabi membenarkan apa yang mereka lakukan. Imam Ahmad berkata, “Nabi sendiri yang mengesahkan kerja sama/ syirkah yang mereka lakukan. ”

Alasan yang diambil oleh Imam Syafi”i adalah bahwa syirkah itu dilakukan tanpa modal harta sehingga tidak akan mencapai tujuannya, yakni keuntungan. Karena syirkah dalam keuntungan itu dibangun di atas syirkah dalam modal. Sementara modal di sini tidak ada, maka syirkah ini tidak sah.

Namun alasan Syafi”i di sini dibantah dengan alasan lain, bahwa tujuan dari syirkah adalah memperoleh keuntungan dengan syirkah tersebut. Tidak hanya didasari dengan modal harta, namun juga dibolehkan dengan modal kerja saja, seperti dalam sistem penanaman saham. Bisa juga dilakukan dengan sistem penja-minan. Yakni masing-masing menjadi penjamin bagi yang lain untuk menerima usaha pasangan bisnisnya seperti menerima usa-hanya sendiri. Masing-masing menjadi penjamin dalam setengah usaha dari penjaminan pihak lain, dan setengah usaha lain dari hak asli yang dimiliki. Sehingga terealisasilah syirkah dari keun-tungan yang dihasilkan dari usaha tersebut.

Rukun-rukun Syirkah Usaha

Ada tiga rukun yang dimiliki oleh Syirkah Abdan, sebagaimana syirkah jenis lain: Dua transaktor, masing-masing harus memiliki kompetensi beraktivitas. Objek transaksi, yakni usaha dan keuntungan. Pelafalan akad/perjanjian. Yakni indika-tor terhadap adanya keridhaan masing-masing pihak terhadap perjanjian, dengan serah terima.

Demikianlah, telah dijelaskan banyak hukum-hukum ten-tang rukun-rukun ini ketika kita membahas Syirkatul “Inan. Karena kesemuanya adalah hukum-hukum umum, sehingga tidak perlu dibahas ulang dalam kesempatan ini. Kita akan mengulas kembali objek transaksi, karena ada sebagian hukum khusus berkaitan dengan syirkah ini.

Pertama: Usaha.

Para ulama berbeda pendapat tentang ditetapkannya kesa-tuan usaha sebagai syarat sahnya kerja sama ini. Kalangan Hana-fiyah dan Hambaliyah dalam salah satu riwayat pendapat mereka berpendapat bahwa kesatuan usaha itu tidak disyariatkan. Karena tujuan dari syirkah tersebut adalah memperoleh keuntungan. Tak ada bedanya antara keuntungan dari satu jenis usaha atau dari beberapa jenis usaha. Tidak ada alasan sama sekali untuk mene-tapkan kesatuan usaha sebagai syarat sahnya syirkahini.

Berbeda halnya dengan kalangan Malikiyah dan juga kalangan Hambaliyah dalam riwayat lain. Mereka menyatakan disyariatkannya kesatuan usaha sebagai syarat sahnya syirkahini. Karena konsekuensi syirkah ini adalah bahwa usaha yang diterima oleh masing-masing pihak juga ditekankan kepada yang lain. Kalau usaha yang dilakukan berbeda, hal itu tidak mungkin terjadi. Karena bagaimana mungkin seseorang akan melakukan usaha yang dia sendiri tidak mampu melakukannya atau tidak terampil mengerjakannya?

Dan dalil terakhir ini dibantah bahwa komitmen seseorang atas suatu usaha tertentu tidak mesti dia melakukannya langsung, bisa saja dia mengupah orang, atau ada orang yang membantunya tanpa upah. Dan di antara hal yang memperjelas lemahnya pen-syaratan ini adalah bila seandainya salah satu dari keduanya ber-kata, “Saya menerima saja dan engkau yang bekerja,” maka syirkah ini sah padahal kerja masing-masing itu berbeda.

Kedua: Keuntungan.

Keuntungan dalam syirkah ini adalah berdasarkan kesepa-katan semua pihak yang beraliansi, dengan cara disamaratakan atau ada pihak yang dilebihkan. Karena usahalah yang berhak mendapatkan keuntungan. Sementara perbedaan usaha dalam syirkah ini dibolehkan. Maka juga dibolehkan juga adanya per-bedaan jumlah keuntungan.

Berdasarkan hal ini, kalau mereka pempersyaratkan usaha dibagi dua (1-1) dan keuntungannya 1-2, boleh-boleh saja. Karena modal itu adalah usaha dan keuntungan adalah modal. Usaha bisa dihargai dengan penilaian kualias, sehingga bisa diperkirakan harganya dengan prediksi kualitasnya, dan itu tidak diharamkan.

Dasar Kerja Sama dalam Keuntungan Pada Syirkah Ini

Asas kerja sama antar sesama mitra usaha dalam syirkah ini adalah jaminan atau garansi. Karena setiap usaha yang diterima masing-masing pihak berada dalam jaminan semua pihak. Ma-sing-masing bisa menuntut dan dituntut oleh usahanya sendiri. Karena syirkah ini terlaksana hanya dengan adanya jaminan ini. Tidak ada hal yang berarti yang dapat dijadikan dasar tegaknya perjanjian kerja sama ini selain jaminan. Seolah-olah syirkah ini berisi jaminan masing-masing pihak terhadap yang lain dalam komitmen dan hak yang dimiliki. Kalau mereka bersekutu dalam jaminan, berarti mereka juga harus berserikat dalam keuntungan. Mereka berhak mendapatkan keuntungan sebagaimana mereka memukul jaminan secara bersama.

Oleh sebab itu, kalau salah seorang di antara mereka beru-saha sendirian, maka usaha itu menjadi milik keduanya. Dengan catatan, pihak yang tidak berusaha bukan karena menolak mela-kukan usaha. Kalau ia menolak berusaha, maka mitra usahanya berhak membatalkan perjanjian/kerja samanya. Bahkan sebagian kalangan Hambaliyah berpendapat, bahwa ketika salah seorang di antara dua pihak yang bermitra usaha itu tidak melakukan usaha tanpa alasan, maka mitra usahanya berhak untuk mengambil sen-diri keuntungan dari usahanya tersebut. Karena mereka menja-lankan syirkah usaha dengan catatan keduanya melakukan usaha bersamaan. Kalau salah di antara mereka tidak melakukan usaha tanpa alasan, maka berarti dia tidak menunaikan syarat kerja sama antara mereka berdua, sehingga ia tidak berhak menda-patkan keuntungan sebagai imbalannya.

Jaminan dalam Syirkah Usaha

Para anggota syirkah ini memiliki satu tanggung jawab. Setiap usaha yang dilakukan masing-masing, mendapatkan jaminan dari pihak lain. Masing-masing dituntut untuk melakukan usaha. Dan masing-masing juga berhak menuntut mitra usahanya untuk mendapatkan keuntungan. Orang yang membayar upah misalnya, cukup menyerahkan pembayaran kepada salah satu dari kedua pihak tersebut. Kalau uang pembayaran tersebut hangus di tangan salah seorang di antara mereka bukan karena faktor keteledoran, maka menjadi tanggungjawab mereka berdua sehingga menjadi keuntungan mereka yang hilang. Karena masing-masing di antara mereka menjadi wakil atau penjamin bagi pihak lain dalam memegang keuangan atau dalam menuntut keuntungan. Semen-tara sudah jelas bahwa tangan seorang penjamin adalah tangan amanah yang hanya bertanggung jawab bila melakukan ketele-doran atau melampaui batas.

Berakhirnya Syirkah Ini

Syirkah usaha ini berakhir dengan berakhirnya kerjasama dengan berdasarkan kriterianya secara umum, misalnya dengan pembatalan oleh salah satu transaktor, atau kematian salah satu dari pihak yang bekerja sama, atau karena gila, karena sudah ter-cekal akibat bangkrut terlilit hutang, karena idiot dan sejenisnya.

Dengan kenyataan itu, maka tidaklah logis apa yang dinyatakan oleh kalangan Malikiyah untuk diterapkan di sini yaitu bahwa dalam usaha dengan sistem penanaman modal, ben-tuk usaha ini berlangsung dengan mulainya usaha. Karena syirkah usaha ini berkaitan erat dengan pribadi para pelaku, sehingga tanpa kehadirannya, tidak bisa dibayangkan bagaimana kerja sama ini bisa berjalan.

Syirkatul Wujuh

Syirkah wujuh adalah akad yang dilakukan dua pihak atau lebih untuk membeli sesuatu dengan mempergunakan nama baik mereka secara berhutang. Bila menghasilkan keuntungan, mereka bagi berdua.

Syirkah jenis ini mengikat dua orang pelaku atau lebih yang tidak memiliki modal uang. Namun mereka memiliki prestige atau nama baik di tengah masyarakat sehingga membuka kesempatan buat mereka untuk bisa membeli secara berhutang. Mereka ber-sepakat untuk membeli barang secara berhutang dengan tujuan untuk dijual, lalu keuntungannya jual beli itu mereka bagi ber-sama.

Sebab Disebut Sebagai Syirkatul Wujuh

Syirkah ini disebut dengan syirkah wujuh karena para ang-gotanya tidak bisa membeli barang dengan hutang bila tidak memiliki prestige (nama baik) di tengah masyarakat. Para anggota kerja sama ini sama sekali tidak memiliki modal uang. Namun mereka memiliki koneksi dan prestige yang menyebabkan mereka berkesempatan baik membeli dengan hutang. Jah(kehormatan) dan wajh(prestige atau nama baik) artinya sama. Dikatakan misalnya, si Fulan memiliki nama baik. Artinya, memiliki kehormatan. Oleh sebab itu Allah berfirman:

“Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat disisi Allah.” (Al-Ahzab: 69).

Disyariatkannya Syirkah Ini

Para ulama berbeda pendapat tentang disyariatkannya atau tidaknya kerja sama ini. Kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah membolehkannya secara mutlak. Kalangan Syafi”iyah dan Mali-kiyah melarang sebagian bentuk aplikatifnya, namun membo-lehkan sebagian bentuk lainnya.

Mereka membolehkan kalau kedua pihak tersebut berse-pakat membeli satu komoditi yang sama. Mereka melarang apabila masing-masing berhak terhadap apa yang dibeli oleh mitra bisnis kerja sama mereka dengan nama baiknya sendiri secara mutlak.

Alasan mereka yang membolehkanya secara mutlak adalah sebagai berikut: Karena syirkah itu mengandung unsur membeli dengan pembayaran tertunda, serta untuk memberikan penjaminan kepada pihak lain untuk berjual beli, dan keduanya dibolehkan. Ka-rena umumnya manusia telah terbiasa melakukan perjanjian kerja sama usaha tersebut di berbagai tempat tanpa pernah dibantah oleh ulama manapun.

Dalam Badai”ush Shanai” disebutkan, “Dalil kami adalah bahwa umumnya kaum muslimin telah terbiasa melakukan kedua jenis usaha tersebut di berbagai masa tanpa ada ulama yang me-nyalahkannya.”

Kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah telah membantah pendapat mereka yang melarang syirkah ini dengan alasan tidak adanya modal yang bisa dikembangkan, dengan ucapan mereka: “Kalau syirkah dengan modal uang dibolehkan untuk mengembang-kan modal tersebut, maka syirkah dengan usaha dan nama baik juga disyariatkan dengan tujuan menghasilkan modal uang. Kebutuhan terhadap modal uang itu lebih besar dari kebutuhan terhadap pengembangan modal uang yang sudah ada.”

Ini pembahasan yang berkaitan dengan definisi syirkah ini, asal muasal penamaannya sebagai syirkah wujuh dan disyariat-kannya syirkah ini.

Adapun hukum-hukum lain yang berkaitan dengan kerja sama ini sama dengan bentuk-bentuk syirkah lainnya, silahkan me-rujuk kepada pembahasan-pembahasan sebelumnya.

Syirkatul Mufawadhah

Definisi Syirkatul Mufawadhah

Al-Mufawadhah secara bahasa artinya adalah syirkah dalam segala hal.

Secara terminologis artinya yaitu: Setiap syirkah di mana para anggotanya memiliki kesamaan dalam modal, aktivitas dan hutang piutang, dari mulai berdirinya syirkah hingga akhir. Maka masing-masing menyerahkan kepada mitranya untuk secara bebas mengoperasikan modalnya, baik ketika ia ada atau tidak. Sehingga ia dengan bebas pula dapat mengoperasikan berbagai aktivitas finansial dan aktivitas kerja yang menjadi tuntutan se-mua bentuk kerja sama, namun dengan syarat, tidak termasuk di dalamnya usaha-usaha yang fenomenal atau berbagai macam denda.

Definisi Aplikatif

Syirkatul Mufawadhah adalah sebuah syirkah komprehensif yang dalam syirkah itu semua anggoga sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti “inan, abdan dan wujuh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya.

Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung ber-bagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.

Alasan Penamaan Itu

Para Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang alasan mengapa dinamakan syirkah ini dengan Syirkah Mufawadah.

Ada pendapat bahwa itu diambil dari kata tafwied yang artinya penyerahan. Karena masing-masing menyerahkan kepada mitranya untuk melakukan operasional seluruh modal dagang-nya. Ada juga yang berpendapat bahwa itu diambil dari kata istifadhah yang artinya menyebar. Karena syirkah ini ditegakkan di atas dasar penyebaran dan ekspos seluruh aktivitas.

Sementara kalangan Hanafiyah menyatakan bahwa arti Mufawadhah adalah penyamaan. Oleh sebab itu syarat sahnya ker-ja sama ini adalah adanya kesamaan modal, aktivitas dan hutang piutang. Namun pendapat ini lemah. Yang tepat adalah yang pertama.

Disyariatkannya Syirkah Ini

Para ulama kembali berbeda pendapat tentang hukum syirkah ini: Kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hamba-liyah membolehkannya. Sedangkan Imam Syafi’i 5 mela-rangnya.

Alasan pendapat mayoritas ulama adalah sebagai berikut:

* Karena syirkah ini menggabungkan beberapa macam bentuk syirkah yang masing-masing dari syirkah itu dibolehkan secara terpisah, maka demikian pula hukumnya bila dikombi-nasikan.

* Karena masyarakat di berbagai tempat dan masa telah terbiasa melakukan bentuk syirkah semacam ini tanpa ada pula ulama yang menyalahkannya.

Sementara alasan Imam Syafi’i melarangnya adalah sebagai berikut: Karena syirkah ini sebentuk perjanjian usaha yang me-ngandung penjaminan terhadap jenis hal yang tidak diketahui, dan juga jaminan terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Keduanya sama-sama rusak secara terpisah, apalagi bila digabungkan.

Dalil yang dikemukakan Imam Syafi”i ini dibantah bahwa hal yang tidak diketahui itu dimaafkan karena timbul sebagai konsekuensi. Sebuah aktivitas terkadang sah bila merupakan konsekuensi, tetapi tidak sah bila merupakan tujuan, seperti hal-nya syirkah “inan dan penanam modal. Masing-masing syirkah itu juga mengandung unsur penjaminan terhadap dalam pembelian sesuatu yang tidak diketahui, namun keduanya dibolehkan ber-dasarkan kesepakatan para ulama.

Syarat-syarat Syirkah Mufawadhah

Kalangan Hambaliyah menetapkan syarat sahnya syirkah ini bahwa tidak boleh dimasukkan ke dalamnya berbagai hasil sam-pingan dan denda-denda. Kalau keduanya dimasukkan dalam perjanjian, syirkah itu batal, karena ada unsur manipulasi. Karena masing-masing akan menanggung kewajiban yang lain. Bisa jadi ia akan menanggung sesuatu yang tidak mampu ia lakukan, apa-lagi itu merupakan perjanjian yang tidak ada contoh yang menye-rupainya dalam ajaran syariat.

Sementara kalangan Hanafiyah memberikan syarat bagi sahnya syirkah ini sebagai berikut:

1. Kesamaan modal, aktivitas dan keuntungan. Maka harus dibuktikan dahulu kesamaan dai awal sampai akhir dalam beberapa hal tersebut. Karena menurut mereka al-Mufawadhah itu sendiri artinya adalah penyamaan. Kalau kesamaan itu tidak di-miliki salah satu pihak, maka syirkah itu batal.

2. Keumuman dalam syirkah Yakni diberlakukan dalam semua jenis jual beli. Jangan sampai salah satu di antara mereka melakukan jual beli yang tidak dilakukan pihak lain.

3. Agar salah satu pihak yang terlibat tidak memiliki saham dalam syirkah lain, dan tidak juga ikut dalam perjanjian syirkah lain, karena hal itu menyebabkan ketidaksamaan.

4. Hendaknya dengan pelafalan mufawadhah. Karena mufa-wadhah mengandung banyak persyaratan yang hanya bisa diga-bungkan dalam pelafalan itu, atau dengan cara pengungkapan lain yang bisa mewakilinya. Namun jarang sekali masyarakat awam yang memahami hal itu.

Demikianlah. Berkurangnya salah satu dari persyaratan ini menyebabkan syirkah ini berubah menjadi syirkah “inan menurut kalangan Hanafiyah. Karena syirkah ini memang sudah mengan-dung unsur syirkah “inan bahkan lebih dari itu. Batalnya syirkah mufawadhah, tidak berarti syirkah itu batal sebagai syirkah “inan, karena syirkah “inan tidak memerlukan syarat-syarat tersebut.

Satu hal yang perlu diingat, bahwa kalangan Malikiyah dan Hambaliyah tidak menganggap kesamaan dalam modal dan keuntungan sebagai syarat syirkah ini. Mereka membolehkan adanya perbedaan dalam kedua hal itu, sebagaimana halnya Syir-katul “Inan.

Untung Rugi Dalam Syirkatul Mufawadhah

Para ulama Ahli Fiqih telah bersepakat bahwa kerugian dalam Syirkah Mufawadhah dan dalam seluruh jenis syirkah lainnya harus diukur dengan jumlah modal. Artinya, kerugian itu dibagi-bagikan untuk ditanggung bersama sesuai dengan prosentasi modal yang tergabung dalam syirkah. Namun mereka berbeda pendapat dalam soal keuntun-gan:

* Kalangan Hambaliyah membolehkan keuntungan itu dibagikan sesuai dengan persyaratan. Mereka tidak membedakan antara syirkah komprehensif dengan yang lainnya.

* Kalangan Malikiyah mempersyaratkan agar keuntungan disesuaikan dengan jumlah modal.

* Sementara kalangan Hanafiyah mengharuskan keuntungan dalam Syirkatul Mufawadhah untuk disamaratakan, berdasarkan alasan yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa modal, keun-tungan dan yang lainnya adalah rambu-rambu paling mendasar, dalam syirkah ini dan juga dalam syirkah-syirkah lain, menurut mereka.

Telah pula dijelaskan sebelumnya bahwa pendapat yang terpilih adalah bahwa keuntungan itu bisa saja berdasarkan persyaratan. Karena usaha itu adalah salah satu sebab memper-oleh keuntungan. Ukurannya bisa berbeda-beda, sehingga harus diukur.

***

Penulis: Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih & Prof. Dr. Shalah ash-Shawi
Sumber: Alsofwah.or.id


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/115-syirkah-dan-hukumhukumnya-kerjasama-permodalan.html